Islam dan Keberlanjutan: Amanah Langit dan Bumi yang Harus Dijaga

Keberlanjutan (sustainability) merupakan salah satu isu global yang semakin relevan di era modern. Krisis iklim, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial-ekonomi telah menjadi tantangan besar umat manusia. Namun, jika kita menengok kembali pada ajaran Islam yang holistik dan menyeluruh, kita akan menemukan bahwa nilai-nilai keberlanjutan telah tertanam kuat dalam prinsip-prinsip syariah. Islam memandang alam semesta sebagai ciptaan Allah yang sempurna, dan manusia sebagai khalifah (pemimpin, pengelola) yang diberi amanah untuk merawatnya, bukan merusaknya.

Manusia Sebagai Khalifah di Bumi

Konsep khalifah fil ardh menjadi landasan utama hubungan manusia dengan alam dalam pandangan Islam. Dalam QS. Al-Baqarah: 30, Allah SWT berfirman:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”

Khalifah bukanlah penguasa absolut, melainkan pemegang amanah. Tugas seorang khalifah adalah mengelola bumi dengan bijaksana, menjaga keseimbangan ekosistem, dan memastikan keberlangsungan hidup semua makhluk. Ini selaras dengan konsep keberlanjutan yang menuntut manusia untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Allah menciptakan alam dengan segala kesempurnaan dan keteraturan. Dalam QS. Al-Mulk: 3, Allah berfirman:

“(Dialah) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?”

Jika alam diciptakan dalam keseimbangan (mīzān), maka kerusakan yang terjadi adalah akibat tangan manusia. QS. Ar-Rum: 41 menyatakan:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Dengan kata lain, kerusakan lingkungan bukan sekadar masalah ekologis, tapi juga moral dan spiritual.

Larangan Merusak dan Perintah Menjaga

Islam secara tegas melarang segala bentuk fasād (kerusakan) di muka bumi. Dalam QS. Al-A’raf: 56 disebutkan:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”

Larangan ini bersifat universal, meliputi pemborosan sumber daya, pencemaran lingkungan, penebangan hutan secara liar, perusakan habitat satwa, dan gaya hidup konsumtif yang berlebihan. Sebaliknya, Islam mendorong umatnya untuk memelihara alam, menghemat energi dan air, serta menjaga kesucian tanah, udara, dan laut.

Rasulullah SAW memberi teladan hidup sederhana dan ramah lingkungan. Dalam satu hadits, beliau bersabda:

“Janganlah kamu berlebihan dalam menggunakan air, meskipun kamu berada di sungai yang mengalir.” (HR. Ahmad)

Pesan ini mengandung makna mendalam: bahwa prinsip efisiensi dan tanggung jawab tidak tergantung pada ketersediaan sumber daya, melainkan pada kesadaran spiritual terhadap nikmat Allah.

Praktik Keberlanjutan dalam Ajaran Islam

Keberlanjutan dalam Islam tidak hanya terbatas pada lingkungan, tetapi juga mencakup aspek sosial dan ekonomi. Ketiga dimensi ini saling terkait dan membentuk fondasi masyarakat yang adil, seimbang, dan lestari.

1. Aspek Lingkungan

Islam menganjurkan penghijauan, konservasi alam, dan perlindungan terhadap satwa. Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang menanam pohon, maka setiap buah yang dimakan oleh manusia, hewan, atau burung dari pohon itu adalah sedekah baginya.” (HR. Bukhari)

Menanam pohon bukan sekadar aktivitas ekologis, tetapi juga ibadah. Di masa Rasulullah, pohon kurma yang tumbuh subur adalah simbol keberkahan dan ketahanan pangan.

Islam juga menaruh perhatian besar pada kebersihan lingkungan. Nabi SAW bersabda:

“Kebersihan adalah sebagian dari iman.” (HR. Muslim)

Menjaga kebersihan air, tanah, dan udara adalah bagian dari tanggung jawab keimanan.

2. Aspek Sosial

Konsep keadilan sosial merupakan bagian integral dari keberlanjutan. Islam memerintahkan untuk menunaikan hak-hak orang miskin, anak yatim, dan kelompok rentan lainnya. Instrumen seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf merupakan mekanisme distribusi kekayaan yang mendukung keberlanjutan sosial.

Zakat, misalnya, tidak hanya membersihkan harta, tapi juga mengurangi kesenjangan sosial dan membangun solidaritas. Ini sejalan dengan prinsip social sustainability yang menekankan inklusi, keadilan, dan kesejahteraan bersama.

3. Aspek Ekonomi

Ekonomi Islam mendorong kegiatan usaha yang etis, adil, dan tidak merusak lingkungan. Riba, penipuan, eksploitasi, dan monopoli adalah hal-hal yang dilarang. Transaksi harus dilakukan dengan penuh kejujuran, keterbukaan, dan kesadaran moral.

Prinsip keuangan berkelanjutan yang kini menjadi tren dunia sebenarnya telah diajarkan dalam sistem muamalah Islam sejak dulu. Investasi halal, pengelolaan zakat produktif, dan pembiayaan mikro syariah adalah contoh praktik ekonomi berkelanjutan menurut Islam.

Urgensi Tindakan: Dari Spiritualitas Menuju Aksi

Krisis lingkungan dan sosial yang kita hadapi saat ini bukan hanya akibat dari kekeliruan kebijakan, tetapi juga krisis spiritual dan akhlak. Ketika manusia melupakan perannya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi, maka timbullah kerakusan, ketidakadilan, dan kehancuran alam.

Karena itu, dakwah keberlanjutan harus dimulai dari kesadaran spiritual. Bahwa menjaga bumi adalah bagian dari ibadah. Bahwa mengurangi sampah, menanam pohon, menggunakan transportasi ramah lingkungan, atau memilih produk yang etis adalah bentuk nyata dari pengamalan iman.

Pesan Rasulullah SAW sangat relevan:

“Jika terjadi kiamat dan di tangan salah seorang dari kalian ada bibit tanaman, maka jika ia mampu menanamnya sebelum kiamat itu terjadi, hendaklah ia menanamnya.” (HR. Ahmad)

Hadits ini menekankan bahwa tindakan kebaikan harus dilakukan kapan saja, meski tampaknya tidak memberi hasil langsung. Ini adalah semangat keberlanjutan: melakukan sesuatu hari ini demi masa depan, bukan demi kepentingan sesaat.

Menjadi Umat yang Rahmatan lil ‘Alamin

Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi manusia. Maka umat Islam pun seharusnya menjadi agen rahmat: pembawa kebaikan, pelindung alam, penggerak keadilan, dan penebar keseimbangan.

Dakwah tentang keberlanjutan harus menjadi bagian dari misi keumatan hari ini. Masjid-masjid bisa menjadi pusat edukasi lingkungan, pesantren dapat menjadi percontohan pertanian organik, dan kampus-kampus Islam dapat memimpin inovasi hijau berbasis nilai-nilai Qur’ani.

Dengan demikian, Islam tidak hanya menjadi agama ibadah personal, tetapi juga solusi peradaban—yang mampu menjawab tantangan zaman dengan prinsip-prinsip langit yang membumi.

Penutup

Keberlanjutan bukan semata urusan lingkungan atau ekonomi, melainkan bagian dari penghambaan kita kepada Allah SWT. Menjaga bumi, menebar kebaikan sosial, dan membangun ekonomi yang adil adalah bagian dari misi Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.

Marilah kita semua menghidupkan kembali kesadaran spiritual ini dan menjadikannya dasar dalam setiap tindakan. Sebab pada akhirnya, kita akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya atas amal ibadah, tetapi juga atas bagaimana kita menjaga bumi Allah ini. Mari ambil bagian dalam implementasi SDGs—lihat program dan sumber daya di Microsite SDGs Universitas Islam Indonesia untuk aksi nyata.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari duniawi; dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77)

Penulis: Rahma Nur Fitria, S.T., M.Eng.

Staf Administrasi Badan Perencanaan & Pengembangan/Rumah Gagasan/Kantor Keberlanjutan